Dia bukan umar Bakri..

Lelaki paruh baya itu masuk pekarangan rumahku tanpa ijin terlebih dahulu. Kami pun tidak pernah merasa terganggu dengan kehadirannya. Memakai seragam kuning dan celana biru selutut dengan gesit dia mengangkat semua sampah yang telah tertumpuk selama 2 hari.


   Seperti menemukan harta karun, itulah pancaran berbinar-binar saat melihat tumpukan yang telah dibuang orang.

   Aku teringat beberapa saat yang lalu, ketika pak Umar jatuh sakit dan harus absen kerja selama 1 minggu lebih. Bisa dibayangkan betapa timbunan itu semakin meninggi dan mengeluarkan aroma yang tidak layak dihirup.
Umar Syaifudin lelaki 64 tahun yang telah menarik gerobak birunya selama hampir 45 tahun. Lebih dari setengah hidupnya melekat dengan gerobak yang membuat beliau mampu menyekolahkan anak-anaknya. Alas kakinya terkadang berbeda antar kiri dan kanan, dan hampir setiap aku bertemu dengannya dia selalu mengenakan alas kaki yang berbeda.
Seandainya dia seorang Umar Bakri yang gajinya sering dikebiri (lagu Iwan Fals) , mungkin hidupnya sedikit lebih baik atau bisa saja tak jauh berbeda. Tapi seorang Umar bakri seorang pegawai negri yang sudah pasti punya tunjangan dan punya sepeda motor.

Tapi Umar Syaifudin tidak pernah pakai sepeda motor untuk kerja.
Dia lebih memlilih untuk membeli hal yang lebih berguna lainnya daripada membeli sebuah motor. Lagipula dengan motor bagaimana juga dia menarik gerobak sampahnya?
Sampah. Kenapa mau menjadi tukang sampah? Selalu jawaban yang sama.
“namanya juga cari hidup non.mau gak mau.hehehe”
Saya bertanya padanya, apakah dalam waktu hampir 45 tahun tidak ada peluang untuk mendapat pekerjaan yang lebih baik? Pak Umar tampak tidak tertarik menjawab pertanyaan itu. Dia memilih hanya tersenyum dan dengan senyuman itu sudah menjawab semua pertanyaan  yang belum saya utarakan.
Awalnya aku berpikir pak Umar pasti tinggal tak jauh dari tempatku. Tapi dugaanku meleset besar. Pak Umar tinggal di sebelah Utara Jakarta, dan setiap hari dia harus menempuh perjalanan yang jauh dengan menarik gerobak yang menurutku sangat berat.  Dan kalau bisa dikatakan, pak Umar selalu datang dengan waktu yang sama.
Dia nampak sangat sehat diusianya, menarik gerobak berat bisa menjadi olahraga untuknya. Badannya masih sangat gagah. Pak Umar menikah di usia 19 tahun, istrinya baru berusia 16 tahun saat mereka menikah. Bisa dibayangkan situasi sulit yang dihadapi mereka diusia semuda itu.

Satu tahun setelah anak pertamanya lahir, istrinya kembali mengadung. Bukan juga sebagai penganut kepercayaan masa lampau. “banyak anak banyak rejeki”, tapi pendidikan keduanya yang berhenti di tingkat SMP pun, membuat mereka jauh dari pengetahuan akan program KB.  Dan sampai saat ini Pak Umar dan istrinya telah dikaruniakan 5 orang anak.

Putra terkecil mereka masih duduk di kelas 3 SMP. Itulah yang membuat pak Umar makin giat bekerja, anak bungsunya akan masuk SMA, dan biaya yang dibutuhkan tidak sedikit.
Menjadi tukang sampah bukan satu-satunya pekerjaan yang dijalani pak Umar, di malam hari dia berganti profesi sebagai tukang parkir di sebuah minimarket dekat tempat tinggalnya. Kalau dilihat dari pendapatan tukang parkir sepertinya menjanjikan, tapi ternyata lagi-lagi meleset dugaan saya walaupun sedikit.

Hasil jasa parkir itu masih harus dipangkas untuk biaya preman setempat sebesar Rp.10.000 perhari. Dalam semalam pak Umar hanya bekerja selama 4 jam.
Anak pertama dan kedua pak Umar berprofesi sebagai tukang parkir, minimnya biaya pendidikan membuat anak sulungnya hanya berhenti di tingkat SMA. Pengalaman seperti ini yang memacu semangat pak Umar untuk menyekolahkan kedua anak yang masih sekolah untuk sampai ke tingkat mahasiswa.  Seperti prinsip orangtua kebanyakan, anak mereka harus lebih pintar dan lebih sukses dari mereka.

Kedua anak pak Umar yang bekerja sebagai tukang parkir ini juga tak bisa membantu lebih banyak untuk ayah ibunya serta dua adiknya yang masih sekolah. Mereka berduapun sudah memiliki tanggungan hidup masing-masing.

Sorot matanya tidak pernah terlihat lelah, dari matanya orang-orang bisa tahu dia sangat mencintai pekerjaannya. Saat saya tanya mana yang lebih dia nikmati, menjadi tukang sampah atau tukang parkir? Dia hanya menunjuk gerobak biru yang sudah hampir terkelupas seluruh catnya.
Dia menikmati menjadi tukang sampah. Sebuah profesi yang bukan menjadi cita-cita di masa sekolah dasar.
Inilah mata rantai kehidupan, dimana kita saling membutuhkan. Dan buatku pak Umar adalah pahlawan. Pahlawan yang ada dekat dengan kita tapi tak pernah mau kita lihat. Tapi membawa perubahan yang besar dalam hidup kita.

Mereka adalah sosok-sosok yang patut dihargai dan kita tahu namanya. Berapa banyak dari kita yang tahu nama seorang tukang sampah yang hampir 2 kali sehari masuk ke pekarangan kita.

Adakah orangtua yang menamakan anaknya “SAMPAH” ?
  Dia menjadi guru tanpa harus berdiri didepan banyak orang, dia mengajarkan banyak hal tentang bagaimana menghargai hidup ini. Mencintai apa yang sudah Tuhan beri dalam hidup ini. Selalu bersyukur atas apapun yang terjadi.

  Untuk seorang Umar Syaifudin, pencapaian dalam hidup bukan tentang sebuah penghargaan. Tetapi tentang sebuah pengorbanan.

Berikan senyum untuk para Umar ini, tak ada salahnya tersenyum dan merubah hidup seseorang menjadi lebih ceria.

Kepada pak Umar dan Umar-Umar yang lainnya, kami seluruh warga yang bersampah angkat topi tundukkan badan dan mengucapkan terimakasih atas jasamu.


(Underpresure momment)
Jakarta 12 Mei 2011


Comments

Popular posts from this blog

Beberapa sendok susu dengan sedikit kopi..

YES, IAM A LUCKY BASTARD!!

Jejaka-jejaka bercelana gantung yang Tuhan kirim