Hancurnya nilai sebuah kejujuran

-Kejujuran hanya sebuah titik kecil yang harus disimpan rapat dalam sebuah peti besi dengan berlapis-lapis gembok raksasa agar tidak berhasil keluar-
Seorang anak mejatuhkan telepon genggam ibunya. Dengan hati-hati dipasangkan lagi beberapa bagian yang berserakan. Layarnya sedikit tergores. Anak itu tidak berani bilang pada ibunya tentang kejadian yang baru terjadi. Diletakkan lagi telepon genggam itu diposisi semula dan kembali bermain dengan mainannya.
Pria berumur 42 tahun sudah menikah itu bekerja sampai larut malam di kantornya. Bahkan terkadang dia memilih menginap di kantor agar tidak habis waktu diperjalanan. Dia tidak sendiri saat lembur. Ada beberapa teman kantor yang sering bekerja sampai larut malam. 2 diantara temannya wanita. Salah satunya sudah menikah dan punya 2 orang anak, sehingga frekuensi lemburnya tidak sebanyak temannya yang masih single. Hampir 2 minggu berturut-turut sang pria 42 tahun menikmati makan malam dalam ruang kantornya. Sama halnya dengan wanita single itu. Namun beberapa hari belakangan ini mereka berdua sering makan bersama dalam ruangan sang pria. Dan malam kemarin mereka makan bersama dalam kamar hotel bintang lima. Kejadian itu hanya terjadi sekali. Pria itu bertekad tidak akan mengkhianati istrinya lagi. Rahasia itu disimpannya sendiri dan dia tetap menjalani rumahtangga seperti biasanya.
Bayi itu tiba-tiba demam tinggi. Tidak ada yang tau kenapa dia sakit. Dokter tidak menemukan adanya penyakit seperti batuk atau pilek yang seringkali disertai demam. Hanya ditemukan sebuah memar besar di pundaknya. Ketika sang pengasuh ditanya perihal memar itu dia hanya menggeleng tidak mengerti. Hari itu orangtua sang bayi harus pergi sehari penuh untuk memenuhi undangan pernikahan kolega. Bayi yang masih terlalu kecil dianggap merepotkan kalau harus dibawa. Kepada pengasuhlah si bayi kecil yang baru berumur 1 bulan dipercayakan. Rupanya sang pengasuh kurang waspada, bayi yang dianggap masih kecil dan belum terlalu banyak gerakkannya di baringkan tanpa pengawasan di atas sofa ruang nonton. Dirinya pergi selama 15 menit untuk mandi. Saat kembali ke ruang nonton sang bayi sudah terjatuh dan sedikit terguling ke bawah meja. Dengan inisiatif sang pengasuh mengambil minyak urut dan mulai memijat tubuh sang bayi. Rupanya pengalaman yang kurang dalam hal pijat membuat tekanan tangan dan jari pada si bayilah yang mengakibatkan memar. Agar sang bayi tidak menangis dan tertidur saat orangtuanya kembali, sang pengasuh menggerus hampir seperempat ctm dan diminumkan ke bayi itu. Pengasuh itu memilih tidak memberitahukan tentang jatuhnya si bayi kepada orantuanya. Lagipula bayi itu juga sedang tertidur dengan pulasnya.
 Silent is golden?
Tidak dalam kasus diatas. Kita lihat kasus pertama yang tidak terlalu berat. Saya yakin jika anaknya jujur pada ibunya pasti sang ibu justru memuji kejujuran sang anak. Dia berani mengakui kesalahannya. Dan itu patut di acungkan jempol.
Bagaimana untuk sang pria yang mengkhianati istrinya walau hanya sekali. Apabila dia jujur pada istrinya, apakah dia mendapatkan pujian seperti sang anak yang menjatuhkan telepon genggam ibunya? Banyak pria bahkan wanita akan berkata dia terlalu naïf kalau sampai harus jujur pada istrinya. Lagipula hal itu tidak terjadi lagi. Berbicara naïf atau tidaknya, mungkin sang pria mengalami perdebatan batin. Istrinya tetap memandang dirinya sebagai suami sempurna sedangkan dia tidak merasa demikian. Haruskah dia jujur demi kedamaian batinnya tapi justru akan menghancurkan kedamaian batin pasangannya?
Jujur itu perlu pengorbanan, waktu untuk bicara, hati untuk disakiti, bahkan wajah untuk ditampar. Banyak hal yang bisa hilang saat orang harus berkata jujur. Dalam sebuah pemerintahan orang bisa kehilangan jabatannya saat ia ingin jujur tentang adanya penyimpangan dan lainnya.
Hal-hal kehilangan jabatan inilah yang menjadi pikiran seorang pengasuh yang memilih aksi bisu perihal memar pada bayi yang dia sebabkan. Seandainya saat itu dia memilih untuk jujur dari awal. Menelpon sang orangtua ketika bayi itu terjatuh. Ada beberapa kemungkinan yang akan terjadi padanya. Antara dipecat atau hanya dimarahi. Tapi sebagai seorang pengasuh yang punya latar pendidikan SD hanya berpikir dirinya pasti dipecat. Jadi buat apa dia jujur? Bagaimana lagi dia memberi makan anak-anaknya kalau dia jujur dan lantas dipecat? Tapi bagaimana dengan sang bayi? Dokterpun harus tau darimana memar itu berasal.
Saat saya mulai menulis sambil juga saya berpikir judul apa yang tepat. Dan juga bertanya-tanya pada diri sendiri solusi apa yang harus diberikan untuk kasus-kasus diatas. Saya tidak punya solusi sama sekali. Masalah jujur itu masalah hati tiap orang. Pernah ada yang bilang  “jujur itu kaya makan buah simalakama”.  Saya tidak setuju. Mungkin ada beberapa hal bisa dianalogikan seperti buah simalakama. Tetapi tidak untuk masalah kejujuran. Jujur ya Jujur. Bohong ya bohong. Hitam dan putih jelas berbeda. Namun keadaan mencampur keduanya menjadi abu-abu. Kejujuran saat ini hanya sebuah titik kecil yang harus disimpan rapat dalam sebuah peti besi dengan berlapis-lapis gembok raksasa agar tidak berhasil keluar.
Sekarang terserah siapa dan untuk apa. Penting tidaknya sebuah kejujuran. Saya, anda dan kalian semua menilai. Semua manusia punya rasa bersalah walau rasa itu sering ditendang oleh ego. Coba aja matikan ego dan berjalan dengan tulus, dan lihatlah bagaimana semua itu bekerja. 




Jakarta 29 Mei 2011


Comments

  1. I like to see black as it's black and white as it is white but sometimes in life you will see grey or other colors and when I stay with my B or W color people hate me and I don't care because that's the way I am.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Beberapa sendok susu dengan sedikit kopi..

YES, IAM A LUCKY BASTARD!!

Jejaka-jejaka bercelana gantung yang Tuhan kirim