Televisi seharusnya paham

-->
“Media may not only tell us what to think about, they may also tell us how and what to think about it, and perhaps even what to do about it.”
Dua hari ini, Indonesia digemparkan dengan tragedy tugu tani yang memakan 9 nyawa. Berbagai media cetak, online dan elektronik memuat berita serupa. Disaat yang hampir bersamaan ada juga kejadian pemerkosaan dalam angkutan umum. Namun rupanya masyarakat lebih tertarik dengan perkara Xenia berdarah, daripada merasa perlu tau apakah para pelaku pemerkosaan sudah tertangkap atau belum.
Tidak semua masyarakat dekat dengan berita online, tidak semua juga yang terbiasa membaca koran cetak. Televisi merupakan sumber berita paling merakyat. Kekuatan audio dan vidio mampu membelokkan pemirsa dimana dia harus berhenti untuk melihat.

Jika dibandingkan antara berita Xenia dan pemerkosaan, keduanya punya nilai berita dan layak diberitakan. Tapi tidak yang terjadi, seperti ikut dalam hiruk pikuk kepala pemirsa, TV “memberi makan” tanpa henti perihal perkara Xenia tersebut. Dan mengabaikan informasi seputar pemerkosa yang masih saja berkeliaran. Tentu sangat  disayangkan, efek pemberitaan tanpa henti itu berimbas dengan memuncaknya amarah publik pada pelaku dan orang sekitar pelaku. Bahkan Institusi dimana pelaku pernah belajar. Televisi belum juga mengorek sisi pemberitaan dari pihak si pengemudi Xenia.
Berbicara layak dan tidaknya sebuah pemberitaan, TV sebaiknya juga melihat dengan dua sisi kepala. Sebab akibat dari sebuah pemberitaan jika sudah menyangkut banyak orang. Memahami benar bagaimana prilaku audiencenya. Jika berita kematian 9 orang itu diputar berulangkali, bagaimana dengan perasaan keluarga korban dan teman-teman korban? Mereka seperti diberi alarm di kepalanya untuk selalu mengingat kenyataan pahit itu. Dan bukankah itu sama saja dengan memupuk kebencian?
Ada beberapa poin dalam menilai kelayakan sebuah berita. Dalam berita Xenia ini, ini menjadi layak karena melibatkan banyak orang. Efek pemberitaan yang terjadi juga menimbulkan kedekatan antara audiense dengan korban. Audience seolah-olah ikut ada dalam tragedy tugu tani itu. Berita ini juga belum lagi selesai, prosesnya masih berkesinambungan. Dan masih ditunggu akhrinya.

Tapi bagaimana dengan moral?
Tidak halal membicarakan moral ketika Bad News makes for good news stories,  televisi tidak lagi mempertibangkan efek negatif sebuah berita. Yang terpenting adalah tidak kehilangan momen kejadian tersebut. Ratting selalu jadi pecut tajam bagi dunia penyiaran. Berita buruk sudah menjadi bisnis.
Tapi apakah efek dari pemerkosaan itu tidak begitu layak menjadi headline? Banyak perempuan-perempuan yang terampas masa depannya akibat diperkosa. Banyak hal yang perlu diwaspadai agar tidak menjadi target perkosa selanjutnya. Informasi seputar apa saja yang harus dilakukan saat berada dalam situasi itu. Televisi seharusnya menyodorkan itu. Daripada berbicara tentang mudahnya mendapat narkoba di Indonesia, yang justru menjadi informasi baru bagi masyarakat. Tidak menutup kemungkinan, orang yang baru mau mencoba jadi dengan gampang tau dimana harus mencari narkoba.
Masyarakat sebenarnya menjadi juri untuk diri sendiri. Dapat menilai mana yang harus mereka pikirkan, mana yang tidak. Dalam kasus Apriani ini, setidaknya si pelaku sudah ada ditangan yang berwajib. Apa lagi yang harus diributkan? Semua sudah terbukti menggunakan narkoba. Lalu buat apa lagi berita itu disiarkan? Apa tidak lebih baik mencari tau apakah pemerkosa-pemerkosa dalam angkutan umum itu sudah tertangkap atau belum?
Yah, kalau saja masyarakat lebih paham tentang mana yang paling mungkin terjadi. Semua akan lebih “haus” dengan berita pemerkosaan. Sedih atas kehilangan orang tercinta sudah pasti ada, tapi lebih tersiksa punya anak yang masih hidup dengan trauma sepanjang hidupnya. Televisi seharusnya paham.

Comments

Popular posts from this blog

Beberapa sendok susu dengan sedikit kopi..

YES, IAM A LUCKY BASTARD!!

Jejaka-jejaka bercelana gantung yang Tuhan kirim