Cepat sembuh anakku sayang....mama butuh kamu.
Lelaki kecil itu sedang terlelap.
Dengkurannya sempurna.
Nafasnya teratur.
Matanya tertutup rapat tanda nyenyak.
Dia belum juga bergerak dari posisi awal dia tertidur.
Saya berada beberapa jengkal di sebelahnya. Hanya kami berdua dirumah saat ini. Semuanya pergi dengan keperluan masing-masing.
Agak sedikit galau hati ini.
Beberapa tetes air mata memilih keluar daripada makin sesak didalam.
Nafas saya terasa lebih berat.
Jika saja ada sodara-sodara saya disini. Atau jika saja bocah kecil ini sedang terbangun. Saya tidak akan segundah ini.
Saya benci membiarkan diri saya menangis.
Perempuan lemah!!!
Tapi apa daya... Iam just human being.
Terlalu sering bersikap frontal yang justru berbuntut hening.
Bukankah bicara itu hak tiap orang?
Apakah kebebasan itu harus dipasung atas nama cinta atau apalah??
hmmmphh!!!
Saya terlalu terbiasa berbicara apa adanya sejak kecil.
Itu yang membuat saya menonjol didepan orangtua.
Mereka senang mendengar saya bicara.
Saya penutur yang baik menurut mereka.
Entahlah apa karena mereka orangtua saya atau memang seperti itu. Saya tidak terlalu tau.
Namun ketika saya berhadapan dengan manusia yang menghendaki saya untuk tidak selalu berargumen, saya merasa seperti mayat hidup.
Lalu buat apa saya bertatap muka dengan orang itu?
Bukannya lebih baik saya minggir kekanan atau kekiri. Biarkan saja dia lewat dan bertemu orang lain untuk dilarang bicara.
Atau memang saya tidak harus lewat jalan dimana tadi saya bertemu orang itu. Tapi bisa saja kalau ternyata saya harus bertemu, saya sebaiknya cepat-cepat minggir dan tidak membuang waktu percuma.
Semua sudah terjadi, meskipun nafas hidup sedikit tersedot selama setahun lebih ini. Tapi dunia belum lagi menyatakan kiamat.
Saya bernafas lagi sedalam-dalamnya.
Biar penuh lagi dada ini.
Ada perjanjian pribadi dalam otak dan dada ini.
Tidak akan ada lagi waktu terbuang, walau hanya untuk sekedar berpandangan dengan manusia yang melarang bersikap spontan.
Dan saya merasa lebih baik berbicara,
berhadapan,
mengedipkan mata,
tersenyum,
tertawa,
berteriak,
dan menangis didepan mahluk kecil yang memang Tuhan kirim untuk membuat saya lupa saya pernah menangis.
Cepat sembuh anakku sayang....mama butuh kamu.
Love u son
Jakarta
24 Desember 2011
Dengkurannya sempurna.
Nafasnya teratur.
Matanya tertutup rapat tanda nyenyak.
Dia belum juga bergerak dari posisi awal dia tertidur.
Saya berada beberapa jengkal di sebelahnya. Hanya kami berdua dirumah saat ini. Semuanya pergi dengan keperluan masing-masing.
Agak sedikit galau hati ini.
Beberapa tetes air mata memilih keluar daripada makin sesak didalam.
Nafas saya terasa lebih berat.
Jika saja ada sodara-sodara saya disini. Atau jika saja bocah kecil ini sedang terbangun. Saya tidak akan segundah ini.
Saya benci membiarkan diri saya menangis.
Perempuan lemah!!!
Tapi apa daya... Iam just human being.
Terlalu sering bersikap frontal yang justru berbuntut hening.
Bukankah bicara itu hak tiap orang?
Apakah kebebasan itu harus dipasung atas nama cinta atau apalah??
hmmmphh!!!
Saya terlalu terbiasa berbicara apa adanya sejak kecil.
Itu yang membuat saya menonjol didepan orangtua.
Mereka senang mendengar saya bicara.
Saya penutur yang baik menurut mereka.
Entahlah apa karena mereka orangtua saya atau memang seperti itu. Saya tidak terlalu tau.
Namun ketika saya berhadapan dengan manusia yang menghendaki saya untuk tidak selalu berargumen, saya merasa seperti mayat hidup.
Lalu buat apa saya bertatap muka dengan orang itu?
Bukannya lebih baik saya minggir kekanan atau kekiri. Biarkan saja dia lewat dan bertemu orang lain untuk dilarang bicara.
Atau memang saya tidak harus lewat jalan dimana tadi saya bertemu orang itu. Tapi bisa saja kalau ternyata saya harus bertemu, saya sebaiknya cepat-cepat minggir dan tidak membuang waktu percuma.
Semua sudah terjadi, meskipun nafas hidup sedikit tersedot selama setahun lebih ini. Tapi dunia belum lagi menyatakan kiamat.
Saya bernafas lagi sedalam-dalamnya.
Biar penuh lagi dada ini.
Ada perjanjian pribadi dalam otak dan dada ini.
Tidak akan ada lagi waktu terbuang, walau hanya untuk sekedar berpandangan dengan manusia yang melarang bersikap spontan.
Dan saya merasa lebih baik berbicara,
berhadapan,
mengedipkan mata,
tersenyum,
tertawa,
berteriak,
dan menangis didepan mahluk kecil yang memang Tuhan kirim untuk membuat saya lupa saya pernah menangis.
Cepat sembuh anakku sayang....mama butuh kamu.
Love u son
Jakarta
24 Desember 2011
Nice... Beta cuma bisa dukung dalam doa, Tuhan pulihkan anak Mu
ReplyDeletemakasih om
ReplyDelete