Negeri monyet-moyet kecil

"tung ning tang ning....
tung ning tang ning....
tung ning tang ning....
tung ning tang ning....
"


Dentingan itu menarik di kuping. Anak-anak kecil berlari keluar dari rumahnya. Beberapa anak sekolah berhenti berjalan. Kepala-kepala terjulur dari pagar yang hanya dibuka sedikit. Tukang jahit keliling menghentikan hentakan mesinnya. Semua menatap pada satu arah. 

Pertunjukan telah dimulai
, binatang berbulu abu-abu bernama monyet itu memulai ritualnya dengan menaiki sepeda motor kecil kayu. Rantai melilit dilehernya, sekali-kali ditarik sang pawang (atau apalah namanya). 

binatang terlatih itu pun mengerti apa lagi yang harus dilakukannya. Beragaya ala foto model dengan menggunakan topeng manusia yang lusuh dan kotor. sekilas seperti bayi baru lahir yang sedang berlarian.

Sang pawang melemparkan potongan kecil karpet hijau, monyet itu segera melakukan gerakan sholat. wow!!terlepas dari tidak taunya dia apa itu, tapi ini hiburan buat orang-orang yang sedang menyaksikannya.

Ada sedih di hati melihat senyum miris yang tersungging diujung bibir monyet ini. sang pria pemegang rantai tak pernah tersenyum sedikitpun, percuma pasti pikirnya. Bukan dia aktor utama pertunjukan ini. 

Perut membuat manusia bersedia melakukan apa saja. Bukan hal mudah melatih seekor monyet agar bisa berlakon seperti apa yang kita mau. 

Dan bukan hal yang terpuji juga menggunakan binatang sebagai objek mencari keuntungan. Apalagi proses pelatihan yang tergolong sadis. Namun siapa yang mau peduli? saya? kamu? atau siapa? Banyak orang kelaparan bahkan mati dengan perut kosong. Siapa yang akan ambil pusing? 

Jadi kata saya "persetan dengan monyet kecil itu." 
Tidak usah geram atas kata-kata saya kecuali kamu punya solusi untuk monyet-monyet itu.


Inilah kita, selalu terbiasa dengan hanya menonton walau tau itu tidak layak dipertontonkan. Tertawa saat orang lain dipermalukan. 

Pelawak-pelawak lebih sarkastik dalam melontarkan lelucon, seolah-olah kosa kata dalam kamus besar bahasa Indonesia hanyalah beberapa.

Apakah setiap komedian dalam sebuah pertunjukan harus dihina hanya untuk mendapatkan tawa penonton? mendorong seseorang sampai terjengkal membuat ratting naik dalam sekejap. Sungguh tak ada bedanya dengan monyet itu. yang lain hanya masalah rantai di leher. 

Ya, sama sekali tidak berbeda. 
Apa saya akan dikritik karna menyamakan manusia dengan monyet?

Dasar manusia-manusia tukang kritik tapi tak pernah terima dikritik.

Atas dasar manusia yang punya hak dan kewajiban kita sering berorasi demi kepentingan pripadi. mau inilah, mau itulah. Dasar manusia-manusia tukang minta-minta. Sama seperti monyet bertopeng berkeliling membawa kantong plastik bekas permen untuk meminta uang.

Kita bertepuk tangan kala pertunjukan telah selesai, terkadang juga tidak. Bahkan langsung kembali larut dengan kesibukan masing-masing. Bagaimana nasib mereka kita juga tak akan peduli. yang penting mereka sudah membuat kita tertawa. 

Mungkin saja setelah ini mereka mati terbunuh, kita juga hanya akan mengibaskan tangan tanda tak mau tau.
Sungguh manusia-manusia tak punya rasa. 

Hhahahah...tak pantaslah bicara tentang rasa dijaman kacau seperti ini. 

Nenek moyang seperti mengajarkan untuk mencuri setiap hari. Tangan yang nakal jarang sekali dipukul, terlalu sayang pastinya. 

Itulah, bagaimana manusia bisa belajar? Perlakukan saja semuanya seperti monyet-monyet kecil dalam kurungan besi itu. Tapi jangan ajarkan untuk meminta-minta, ajarkan bagaimana membalikkan telapak tangan kebawah dan membuat para penonton tersenyum bahagia.


Jakarta 22 September 2011













Comments

Popular posts from this blog

Jejaka-jejaka bercelana gantung yang Tuhan kirim

Beberapa sendok susu dengan sedikit kopi..